Di beberapa pesantren, khataman pengajian Ihya’
dimeriahkan dengan berbagai acara, seperti pengajian umum, tahlil dan
sebagainya. Mengomentari fenomena ini Mbah Moen berpandangan bahwa
khataman Ihya’ kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai lima kali
Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya,
Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang
Ponorogo, dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan panjang
lebar.
Ketika saya tanyakan, mengapa demikian, Beliau menjawab, “yo ngono
iku”. Setelah jeda beberapa saat Beliau melanjutkan, “Ihya’ iku zuhud”.
Saya mengartikan dawuh beliau bahwa karena Ihya’ bersifat zuhud, maka ia
tidak cocok dengan hiruk-pikuk kemeriahan yang diadakan dalam rangka
memungkasi pengajian Ihya’ tersebut.
Oleh karena itu Mbah Moen berpantang memeriahkan khataman Ihya’.
Pernah suatu kali para santri berencana, bahkan sudah mengumpulkan dana,
untuk memeriahkan khataman Ihya’. Ketika mengetahui hal tersebut beliau
melarangnya. Dan alhamdulillah sejak pertama kali mengampu pengajian
Ihya’ di tahun enam puluhan hingga kini, Beliau sudah lebih dari lima
kali khataman Ihya’. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati umur
Beliau.
Menurut Mbah Moen, beberapa kyai terdahulu juga mengambil sikap
kehati-hatian serupa. Mbah Dlowi Lasem, misalnya, kalau ngaji Ihya’
tidak pernah dikhatamkan. Demikian pula Mbah Ber. Mbah Moen sendiri
selalu mengkhatamkan Ihya’, tetapi disertai dengan dua langkah
antisipasi: Pertama, tidak memeriahkan khtaman; kedua, membuat jeda
antara akhir pengajian dengan awal pengajian berikutnya.
Meski demikian Mbah Moen merasa bahwa cara yang ditempuhnya masih ada
yang kurang tepat. Beliau menuturkan, setiap kali beliau sampai pada
kitab dzikr al-maut ada santri yang meninggal.
Disamping keunikan di atas, Mbah Moen juga menuturkan, “moco Ihya’
iso nyebabno tentrem lan rame”. Saya menangkap pengertian “rame” di sini
adalah “rame santrine”.
Tentang “tentrem” ini saya teringat dengan dawuh Beliau ketika
pengajian di Dasin Tambakboyo Tuban, “Nduwe duit ora bungah, ora nduwe
duit ora susah”. Ini sikap hidup yang bisa mendatangkan ketentraman,
tetapi tidak mudah diresapkan. Bisa jadi dengan mengaji Ihya’ seseorang
secara perlahan bisa meresapkan sikap hidup semacam itu yang pada
gilirannya bisa mendatangkan ketentraman.
Dan tentang “rame santrine”, saya melihatnya sebagai berkah yang
dialami Mbah Moen. Umumnya pesantren besar didirikan oleh pengasuh
generasi pertama. Setelah diwariskan ke pengasuh generasi kedua atau
ketiga barulah pesantren tersebut mengalami peningkatan jumlah santri
yang pesat. Tetapi pesantren Al-Anwar yang didirikan Mbah Moen memiliki
fenomena yang berbeda. Mbah Moen adalah perintis berdirinya Pesantren
Al-Anwar, dan di tangan beliau pula peningkatan jumlah santri mengalami
perkembangan pesat. Hingga kini trend pertumbuhan jumlah santri masih
berada pada grafik naik. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati usia
Beliau.
Sumber : http://ppalanwar.com/index.php/news/550/34/Pandangan-Syaikhina-Maimoen-Zubair-Tentang-Pengajian-Ihya-Ulumiddin/d,Biografi.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Welcome In Muda Rukun- Mudi Abadi Demangan Site...